Wikipedia

Hasil penelusuran

Selasa, 16 September 2014

Gunungan Matsuri


 Setelah kemarin ngebahas tentang matsuri yang ada di Jepang , kali ini giliran matsuri yang ada di Indonesia . 



Upacara Gunungan


Gerebeg atau grebeg mempunyai arti "suara angin". Garebeg merupakan salah satu adat Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang untuk pertama kalinya diselenggarakan oleh Sultan Hamengku Buwana I. Upacara kerajaan ini melibatkan seluruh Kraton, segenap aparat kerajaan serta melibatkan seluruh lapisan masyarakat. Secara formal, garebeg bersifat keagamaan yang dikaitkan dengan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW serta kedua hari raya Islam (Idul Fitri dan Idhul Adha).
Garebeg secara politik juga menjabarkan gelar Sultan yang bersifat kemuslimatan (Ngabdurrahman Sayidin Panotogomo Kalifatullah). Selama satu tahun terdapat tiga kali upacara garebeg yaitu Garebeg Mulud, Garebeg Besar, dan Garebeg Sawal yang diselenggarakan di kompleks Kraton dan lingkungan sekitarnya, seperti di Alun-alun Utara.
Garebeg Mulud diselenggarakan untuk memperingati hari kelahiran (maulid) Nabi Muhammad SAW yang jatuh tepat pada tanggal 12 Rabiulawal. Bulan Rabiulawal disebut juga bulan Mulud dalam kalender Jawa-Islam. Itulah sebabnya garebeg yang diselenggarakan untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW, disebut Garebeg Mulud. Sebenarnya tanggal 12 Rabiulawal mempunyai dua arti penting dalam riwayat hidup Sang Nabi, karena diyakini oleh umat Islam bahwa Nabi Muhammad SAW lahir dan wafat pada tanggal dan bulan yang sama.
 
 
 Tradisi memperingati hari lahir Sang Nabi ini baru tumbuh setelah agama Islam berkembang luas ke negara-negara lain di luar jazirah Arab. Hari lahir Nabi Muhammad SAW bukanlah hari raya resmi Islam, sebab Islam hanya mengenal dua hari raya, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha. Perayaan hari lahir Nabi Muhammad SAW sebagai upacara kerajaan ini dipelopori oleh Kesultanan Demak, dari zaman ke zaman dilestarikan oleh para raja Jawa yang kemudian dikenal sangat populer sebagai Garebeg Mulud.
Sebelum Garebeg Mulud diselenggarakan, terdapat beberapa kegiatan adat yang dilaksanakan dalam lingkungan Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, yaitu:
- Upacara Gladi Resik untuk kesiapan prajurit Kraton oleh Bupati Nayoko Kawedanan Ageng Prajurit,
- Upacara Numplak Wajik sebagai tanda permulaan pembuatan gunungan,
- Upacara Miyosipun Hajad Dalem sebagai puncak upacara dengan mengiring keluarnya Hajad Dalem yang berujud gunungan dari dalam Kraton ke Masjid Besar oleh Kyai Pengulu Kraton.
Selain Garebeg Mulud, Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat juga menyelenggarakan Garebeg Mulud Dal yang terjadi setiap satu windu sekali, dan dilaksanakan secara istimewa dengan penuh kemegahan, serta lebih banyak mengungkapkan unsur-unsur kebudayaan lama identitas raja, kerajaan Jawa.
Dalam Garebeg Mulud Dal, Sultan hadir di Masjid Besar di tengah publik dengan memperlihatkan tradisi Kejawen yang penuh dengan unsur-unsur kebudayaan Jawa Kuno, berbagai macam pusaka Kraton yang sangat keramat sebagai pernyataan tradisional bahwa sultan dan Kasultanan Yogyakarta adalah ahli waris sah dari para raja dan kerajaan Jawa terdahulu. Juga menyatakan sikap tradisional sultan sebagai wakil dari suku bangsanya dalam memuliakan para leluhur.
Kehadiran Sultan di Masjid Besar ditujukan juga untuk melakukan kegiatan religius Islam yakni menendang tumpukan batu-bata yang ditempatkan di pintu terbuka di pagar tembok bagian selatan Masjid Besar. Hal ini merupakan tindakan simbolik yang melambangkan rakyat pada zaman Kasultanan Demak secara resmi telah meninggalkan agama Hindu�Budha untuk memeluk agama Islam. Upacara ini dilakukan hanya setiap delapan tahun sekali atau sekali dalam sewindu.
Gunungan Mulud Dal disebut sebagai Gunungan Kutug atau Gunungan Bromo. Di bagian puncak, diberi lubang untuk menampakkan sebuah anglo berisi bara yang membakar segumpal besar kemenyan, sehingga secara terus menerus mengepulkan asap tebal jika dihembus angin. Pajangannya berupa beraneka macam kue berwarna-warni hampir sama dengan pajangan Gunungan Lanang, bervariasi dengan Gunungan Wadon. Di bagian bawah, beralaskan kain banung tulak dan diletakkan tegak di atas sebuah nampan raksasa berkerangka kayu berukuran 2 x 1,5 m

Matsuri

Setelah kemarin membahas mengenai backpacker , hari ini saya bakalan ngebahas tentang salah satu matsuri di Jepang . Matsuri sendiri berarti perayaan , Di Jepang ada banyak matsuri yang diselenggarakan rutin setiap tahunnya. Contohnya Hina Matsuri, Obon Matsuri , Gion Matsuri dll.
Ini merupakan budaya yang diwariskan turun temurun dari nenek moyang dan hingga kini masyarakat masih menjaga tradisi tersebut . Pemerintah Jepang bahkan menambahkan Hari Libur untuk merayakan tersebut .
Oleh sebab itu Jepang menjadi negara dengan hari Libur terbanyak .
Kali ini saya membahas mengenai Gion Matsuri .

Gion Matsuri


Bagi kalian yang berwisata ke Kyoto jangan lewatkan perayaan Gion Matsuri ini , ini merupakan festival yang paling terkenal di Kyoto. Biasanya diadakan pada bulan Juli, perayaannnya dilakukan dari tanggal 1 Juli hingga akhir Juli. Puncak perayaan Gion Matsuri yaitu pada tanggal 17 Juli atau biasa disebut dengan Prosesi Yamaboko.

Yama




Yama adalah sejenis kendaraan besar dengan roda besar dari kayu ditarik oleh banyak orang.Hiasan kendaraan (kenshōhin) pada Yama berupa benda-benda keagamaan dan benda-benda seni seperti karpet yang didatangkan dari Tiongkok atau Jalan Sutra .sedangkan Hoko adalah jenis Yama dengan menara menjulang tinggi yang di ujung paling atasnya terdapat hoko.
 
Chigo adalah sebutan untuk anak-anak yang dijadikan bintang dalam Matsuri. Gion Matsuri terkenal dengan Chigo berupa anak laki-laki berusia sekitar 10 tahun yang didandani dengan riasan tebal. Naginatahoko merupakan satu-satunya Hoko yang berisi Chigo sedangkan pada Hoko yang lain digantikan dengan boneka anak laki-laki. Naginatahoko juga merupakan Hoko terpenting yang tidak boleh dinaiki oleh wanita..




Mungkin ini bisa menjadi referensi tujuan wisata kalian , selain dari wisata alam dan kuliner , wisata matsuri pun wajib dicoba ... :)