Setelah kemarin ngebahas tentang matsuri yang ada di Jepang , kali ini giliran matsuri yang ada di Indonesia .
Upacara Gunungan |
Gerebeg atau grebeg mempunyai arti "suara angin". Garebeg merupakan salah satu adat Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang untuk pertama kalinya diselenggarakan oleh Sultan Hamengku Buwana I. Upacara kerajaan ini melibatkan seluruh Kraton, segenap aparat kerajaan serta melibatkan seluruh lapisan masyarakat. Secara formal, garebeg bersifat keagamaan yang dikaitkan dengan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW serta kedua hari raya Islam (Idul Fitri dan Idhul Adha).
Garebeg secara politik juga menjabarkan gelar Sultan yang bersifat kemuslimatan
(Ngabdurrahman Sayidin Panotogomo Kalifatullah). Selama satu tahun terdapat tiga kali upacara garebeg yaitu Garebeg Mulud,
Garebeg Besar, dan Garebeg Sawal yang diselenggarakan di kompleks Kraton dan lingkungan
sekitarnya, seperti di Alun-alun Utara.
Garebeg Mulud diselenggarakan untuk memperingati hari kelahiran (maulid) Nabi Muhammad SAW yang jatuh tepat pada tanggal 12 Rabiulawal. Bulan Rabiulawal
disebut juga bulan Mulud dalam kalender Jawa-Islam. Itulah sebabnya garebeg yang
diselenggarakan untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW, disebut Garebeg
Mulud. Sebenarnya tanggal 12 Rabiulawal mempunyai dua arti penting dalam riwayat
hidup Sang Nabi, karena diyakini oleh umat Islam bahwa Nabi Muhammad SAW lahir
dan wafat pada tanggal dan bulan yang sama.
Tradisi memperingati hari lahir Sang Nabi ini baru tumbuh setelah agama Islam
berkembang luas ke negara-negara lain di luar jazirah Arab. Hari lahir Nabi Muhammad
SAW bukanlah hari raya resmi Islam, sebab Islam hanya mengenal dua hari raya,
yaitu Idul Fitri dan Idul Adha. Perayaan hari lahir Nabi Muhammad SAW sebagai
upacara kerajaan ini dipelopori oleh Kesultanan Demak, dari zaman ke zaman dilestarikan
oleh para raja Jawa yang kemudian dikenal sangat populer sebagai Garebeg Mulud.
Sebelum Garebeg Mulud diselenggarakan, terdapat beberapa kegiatan adat yang dilaksanakan
dalam lingkungan Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, yaitu:
- Upacara Gladi Resik untuk kesiapan prajurit Kraton oleh Bupati Nayoko Kawedanan Ageng Prajurit,
- Upacara Numplak Wajik sebagai tanda permulaan pembuatan gunungan,
- Upacara Miyosipun Hajad Dalem sebagai puncak upacara dengan mengiring keluarnya Hajad Dalem yang berujud gunungan dari dalam Kraton ke Masjid Besar oleh Kyai Pengulu Kraton.
- Upacara Gladi Resik untuk kesiapan prajurit Kraton oleh Bupati Nayoko Kawedanan Ageng Prajurit,
- Upacara Numplak Wajik sebagai tanda permulaan pembuatan gunungan,
- Upacara Miyosipun Hajad Dalem sebagai puncak upacara dengan mengiring keluarnya Hajad Dalem yang berujud gunungan dari dalam Kraton ke Masjid Besar oleh Kyai Pengulu Kraton.
Selain Garebeg Mulud, Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat juga menyelenggarakan
Garebeg Mulud Dal yang terjadi setiap satu windu sekali, dan dilaksanakan secara
istimewa dengan penuh kemegahan, serta lebih banyak mengungkapkan unsur-unsur
kebudayaan lama identitas raja, kerajaan Jawa.
Dalam Garebeg Mulud Dal, Sultan hadir di Masjid Besar di tengah publik dengan
memperlihatkan tradisi Kejawen yang penuh dengan unsur-unsur kebudayaan Jawa Kuno,
berbagai macam pusaka Kraton yang sangat keramat sebagai pernyataan tradisional
bahwa sultan dan Kasultanan Yogyakarta adalah ahli waris sah dari para raja dan
kerajaan Jawa terdahulu. Juga menyatakan sikap tradisional sultan sebagai wakil
dari suku bangsanya dalam memuliakan para leluhur.
Kehadiran Sultan di Masjid Besar ditujukan juga untuk melakukan kegiatan religius
Islam yakni menendang tumpukan batu-bata yang ditempatkan di pintu terbuka di
pagar tembok bagian selatan Masjid Besar. Hal ini merupakan tindakan simbolik
yang melambangkan rakyat pada zaman Kasultanan Demak secara resmi telah meninggalkan
agama Hindu�Budha untuk memeluk agama Islam. Upacara ini dilakukan hanya setiap
delapan tahun sekali atau sekali dalam sewindu.
Gunungan Mulud Dal disebut sebagai Gunungan Kutug atau Gunungan Bromo. Di bagian
puncak, diberi lubang untuk menampakkan sebuah anglo berisi bara yang membakar
segumpal besar kemenyan, sehingga secara terus menerus mengepulkan asap tebal
jika dihembus angin. Pajangannya berupa beraneka macam kue berwarna-warni hampir
sama dengan pajangan Gunungan Lanang, bervariasi dengan Gunungan Wadon. Di bagian
bawah, beralaskan kain banung tulak dan diletakkan tegak di atas sebuah nampan raksasa berkerangka kayu berukuran
2 x 1,5 m